Poin Penting

Kamis, 13 Desember 2007

Catatan dari Fakfak

Perdebatan kecil terjadi ketika seorang pedagang sagu lempeng dan sagu tumpang di Pasar Tambaruni, Fakfak, Irian Jaya Barat, menyebutkan tidak ada lagi pohon sagu di Fakfak. Sagu yang dijualnya itu bukan lagi berasal dari Fakfak, melainkan dari Sorong Selatan.

Usman Ugar (66) nama penjual sagu tersebut. Saat menjelaskan asal muasal sagu yang ia jual kepada Kompas, Jumat (15/12), kebetulan lewatlah Agus Fuad (60), seorang warga asli Fakfak.


"Tidak benar itu. Sagu di Fakfak masih ada. Di sana, di hutan-hutan," kata Agus seraya menghampiri kami.

Beberapa saat Usman membiarkan Agus berkata-kata, meyakinkan bahwa pohon-pohon sagu masih ada di Fakfak. Namun, setelah Agus pergi, Usman menegaskan kembali pernyataannya semula, "Di Fakfak sudah tidak ada lagi pohon sagu...."


Siegfried Zollner dalam buku Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Papua Barat: Studi Realita Sosial dan Perspektif Politis (2006) menyebutkan bahwa sagu dan ubi sebelumnya sebagai makanan pokok di wilayah Papua. Akan tetapi, saat ini budaya Papua dalam masa transisi. Ada ancaman akibat modernisasi-jawanisasi.


Ancaman itu di antaranya dalam wujud perubahan makanan pokok dari sagu beralih ke beras. Entah benar entah tidak, pernyataan Usman tadi. Yang jelas, pohon sagu di Kabupaten Fakfak mulai sulit terlacak keberadaannya.


Selama ini pun Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Fakfak tidak pernah menyebutkan data produksi sagu. Dari laporan produksi tahun 2004, hanya dapat diketahui hasil hutan dan perkebunan di Fakfak, meliputi pala (1,288 juta ton), cengkeh (20.351 ton), kopi (5.736 ton), kelapa (380.639 ton), kakao (36.873 ton), dan mete (1.442 ton).
Data mengenai produksi dan produsen sagu tidak pernah dicantumkan. Begitu pula data perdagangan kebutuhan pokok sebagai sumber karbohidrat, yang tertera pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Fakfak hanya berupa beras dan terigu.
Tercatat realisasi pemasukan beras ke Fakfak pada 2004 sebanyak 3.440 ton, sedangkan pemasukan dan penyaluran tepung terigu sebanyak 1.058 ton. Sementara catatan pemasukan dan penyaluran gula pasir ke Fakfak mencapai 1.969 ton. Data produksi sagu seakan melesap tertelan tanah. Beras benar-benar telah menggilas sagu.
*Resep instan sagu*
Zollner, warga Jerman yang pernah menetap di Yali, Papua Barat, sejak 1960, menyebutkan bahwa Papua akan memiliki masa depan apabila hak-hak dasar mereka dihargai. Kebudayaan mereka juga harus diterima dan tidak boleh dianggap berada di bawah kebudayaan Jawa.
Usman Ugar menjadi salah satu penduduk setempat yang berusaha mengingatkan dan mempertahankan tradisi Papua. Ia tetap bertahan menjual sagu, manakala warga lainnya memandang beras lebih modern dibandingkan dengan sagu.
Usman berasal dari Kampung Rumbati, Distrik Teluk Patipi, yang berjarak sekitar 70 kilometer dari Kota Fakfak. Sejak tahun 1957, Usman mengaku, sudah mengikuti jejak orangtuanya berjualan sagu ke mana-mana. Saat ini ia mengontrak sebuah rumah yang tak begitu jauh dari Pasar Tambaruni. Rumah itu dijadikan gudang sagu sekaligus tempat tinggalnya.
Dari berjualan sagu, Usman mengaku dapat memperoleh hasil yang tidak sedikit. Bahkan, sembari berkelakar, ia mengungkapkan bahwa dari hasil penjualan sagu dirinya bisa menikahi dua istri; satu wanita setempat dan satu lagi perempuan dari Surabaya.
"Dari hasil penjualan sagu, setiap tahun saya juga bisa membiayai perjalanan ke Surabaya, ke tempat istri kedua saya," kata Usman.
Dengan dibantu Remedan (26), setiap minggu ia mampu menjual hingga 200 ikat sagu lempeng dan puluhan sagu tumpang. Sagu lempeng berbentuk kotak berukuran 20 cm x 20 cm dan setebal sekitar 5 sentimeter. Satu ikat sagu—berisi enam lempeng—dijual Usman seharga Rp 10.000. Sagu lempeng yang sudah dikeringkan itu mampu bertahan selama enam bulan sampai satu tahun.
Berbeda dibandingkan dengan sagu lempeng, sagu tumpang berbentuk tabung dengan diameter sekitar 20 sentimeter, tetapi panjangnya sampai 40 sentimeter. Sagu tumpang yang belum diawetkan bisa langsung dimasak menjadi papeda, makanan khas ketika dihidangkan menyerupai gumpalan lem kertas. Biasanya, papeda dihidangkan dengan sup ikan.
Ketika berlangsung "perdebatan tak langsung" antara Usman dan Agus, ada yang menarik. Ketika itu, ikut nimbrung pula seorang kakek-kakek warga asli setempat. Kakek-kakek itu ternyata ikut urun rembuk, nimbrung di tengah-tengah perbincangan begitu saja untuk menyampaikan resep instan mengolah sagu. Dia mengatakan, kalau ingin memasak sagu lempeng, belilah dulu mi instan. Bumbunya bisa untuk memasak sagu.


"Ambil satu sagu lempeng lalu direndam air dingin. Setelah lunak, baru dimasak sampai menjadi bubur dan campurkan bumbu dengan mi," kata si kakek itu. "Lebih enak lagi, ditambah ikan," ucapnya lagi.


"Tidak perlu. Dimasak pakai garam dan merica saja sudah cukup," tukas Agus.


Kakek-kakek itu tak memedulikan perkataan Agus yang gusar, dan langsung meninggalkan perbincangan "unik" di pasar itu. Rupanya, kakek-kakek tadi bermaksud menyampaikan pesan bahwa sagu masih enak untuk dikonsumsi. Cara mengonsumsinya pun tidak perlu repot-repot lagi. Cukup memanfaatkan bumbu dan mi instan yang sudah banyak beredar. Dengan cara demikian, kakek-kakek itu ingin menularkan tradisi makan sagu.


"Sagu berbeda daripada nasi. Kalau sudah makan sagu, badan menjadi kuat," kata Remedan, pembantu Usman.
*Keinginan terpendam*


Dari suatu perbincangan singkat di Pasar Tambaruni, mempersoalkan sagu yang mulai langka, ternyata sangat menarik. Warga setempat masih memiliki keinginan terpendam untuk tetap mempertahankan tradisi makan sagu.


Perdebatan antara Usman dan Agus masih perlu dikaji kembali, benarkah tanaman sagu mulai punah di Fakfak? Kemudian, cara mengonsumsi sagu yang sebetulnya mudah ternyata jarang disosialisasikan. Begitu pula dengan manfaatnya, yang dikatakan Remedan, makan sagu berbeda dibandingkan dengan makan nasi. Kalau makan sagu, badan akan terasa lebih kuat.


Selama ini pohon sagu hanya dikenal sebagai tanaman liar di hutan. Belum ada usaha untuk membudidayakannya sebagai tanaman pertanian dan atau perkebunan.


Memang, sebuah pohon sagu baru bisa berproduksi setelah berusia 8-10 tahun. Pohon sagu pada usia tersebut bisa menghasilkan sekitar 200 kilogram tepung sagu. Terhitung dari produksi tersebut, satu batang pohon sagu dapat memberi makan 10 orang dalam dua pekan.


Di dunia, beberapa tahun lalu diperkirakan terdapat sekitar 700 juta hektar hutan yang masih banyak terdapat pohon sagu. Di wilayah Papua sendiri, pohon sagu diperkirakan masih ada di 40 persen dari kawasan hutan yang ada di sana.


Selain untuk kebutuhan pangan, sagu bisa digunakan untuk industri kayu. Di antaranya untuk memproduksi kayu lapis.


Masa-masa sebelumnya, sagu berdampingan dengan ubi-ubian dan pisang, menjadi makanan pokok masyarakat Fakfak. Ubi jalar, keladi, dan singkong merupakan ubi-ubian yang kini masih banyak diproduksi warga setempat. Tetapi, diperkirakan jumlah yang dikonsumsi terus menyusut akibat peralihan ke konsumsi beras.


Catatan Fakfak dalam Angka 2004 menunjukkan, produksi ubi jalar mencapai 1.800 ton, ubi kayu 952 ton, dan keladi 891 ton. Hanya saja, angka-angka produksi ini tetap tidak mampu menggeser kebutuhan masyarakat Fakfak akan beras, yang juga diperkirakan akan terus meningkat dari tahun ke tahun.


Ironisnya, beras sebagai kebutuhan pokok tersebut masih harus didatangkan dari luar, terutama dari Jawa. Sementara sagu sebagai makan pokok semula mulai ditinggalkan.


Masa depan Fakfak, juga Papua secara keseluruhan, kini dipertaruhkan....

1 komentar:

Anak Fakfak mengatakan...

hallo salam kenal ya.....